Saturday, December 18, 2021

MODUL I : Jenis Jenis Korosi

 

Laporan Awal Modul 1 : Jenis Jenis Korosi

1.1. Tujuan Percobaan

Tujuan percobaan ini ialah:

  1. Memperlihatkan adanya beda potensial antara dua logam yang berbeda.
  2. Membedakan anoda dan katoda serta reaksi pada masing-masing elektroda.
  3. Menjelaskan proses terjadinya korosi akibat sel galvani

1.2 Dasar Teori

Korosi merupakan fenomena alam yang menyebabkan logam murni kembali ke bentuk alaminya yang lebih stabil akibat terjadinya reaksi eektrokimia antara logam dengan lingkungannya. Korosi atau pengkaratan bisa dikatakan suatu peristiwa kerusakan atau penurunan kualitas suatu bahan logam yang disebabkan oleh terjadinya reaksi terhadap lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya korosi yaitu tingkat kelembapan lingkungan , Keberadaan ion agresif seperti Cl- , Kandungan H2S dan lain sebagainya. Beberapa pakar berpendapat definisi hanya berlaku pada logam saja, tetapi para insinyur korosi juga ada yang mendefinisikan istilah korosi berlaku juga untuk material non logam, seperti keramik, plastik, karet. Sebagai contoh rusaknya cat karet karena sinar matahari atau terkena bahan kimia, mencairnya lapisan tungku pembuatan baja, serangan logam yang solid oleh logam yang cair hida posisiali (Hakim, 2012).

Ada 4 syarat utama yang dapat menyebabkan terjadinya fenomena korosi yaitu

  1. Adanya reduksi pada katoda
  2. Adanya oksidasi pada anoda
  3. Adanya Elektrolit
  4. Adanya Metallic Pathway.

Adapun mekanisme terjadinya korosi sebagai berikut:

Gambar 1.1 Mekanisme Korosi

reaksi korosi pada besi

Anoda : Fe -> Fe2+ + 2 e-

Katoda :

1. Evolusi H2 dari larutan asam dan netral

2H+ + 2e -> H2 (lar. Asam)

2H2O+2e->H2+2OH– (netral dan alkalin)

2. Reduksi oksigen terlarut dalam larutan asam atau netral

O+ 4H+ + 4e -> 2H2O (lar. asam)

O2+2H2O+4e -> 4OH- (netral dan basa)

3. Reduksi Oxidizer terlarut dalam redoks

Fe3+ + e -> Fe2+

Gambar 1.2. Diagram Mekanisme korosi pada besi

Berdasarkan bentuk kerusakan yang dihasilkan, penyebab korosi, lingkungan tempat terjadinya korosi, maupun jenis material yang diserang, korosi terbagi menjadi, diantaranya adalah:

a. Korosi Seragam (Uniform Corrosion)

Korosi merata adalah bentuk korosi yang pada umumnya sering terjadi. Hal ini biasanya ditandai dengan adanya reaksi kimia atau elektrokimia yang terjadi pada permukaan yang bereaksi. Logam menjadi tipis dan akhirnya terjadi kegagalan pada logam tersebut. Sebagai contoh, potongan baja atau seng dicelupkan pada asam sulfat cair, biasanya akan terlarut secara seragam pada seluruh permukaannya. Contoh lain dari korosi merata adalah pada pelat baja atau profil, permukaannya bersih dan logamnya homogen, bila dibiarkan di udara biasa beberapa bulan maka akan terbentuk korosi merata pada seluruh permukaanya. Korosi merata merupakan keadaan kerusakan yang sangat besar terhadap material, namun korosi ini kurang diperhatikan karena umur dari peralatan dapat diperkirakan secara akurat dengan pengujian lain yang lebih sederhana. Korosi merata dapat dilakukan pencegahan dengan cara pelapisan, inhibitor dan proteksi katodik.

Gambar 1.3 Korosi merata pada pipa

b. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)

Korosi sumuran (Pitting Corrosion) merupakan bentuk korosi yang terokalisasi yang menghasilkan sebuah lubang atau pit pada material logam. Salah satu karakteristik material

yang mampu mengalami korosi ini adalah keberadaaan lapisan pasif yang mampu menimbulkan potesial yang tinggi sehingga menyebabkan arus dapat mengalir kedalam pits. Sementara apabila permukaan luar aktif maka driving force tidak ada. Maka dari itu, pada carbon steel akan hanya terbentuk pit bila larutan cenderung untuk mempasivkanya .
Korosi sumuran (Pitting Corrosion) terjadi akibat rusaknya lapisan pasif di permukaan logam, umumnya di akibatkan ion agresif berupa Cl- , Br- dan F- , sehingga logam akan terekspose dan mengalami korosi secara terlokalisasi yaitu pada daerah yang mengalami kerusakan daerah pasif. Karena korosi ini terjadi pada suatu area yang tetap, maka korosi ini akan sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kegagalan pada komponen logam. Selain itu, korosi sumuran sulit untuk di deteksi di bandingakan korosi lainya. Tahapan korosi ini dimulai dari pitting initiation, propagation, dan termination. Korosi sumuran sering terjadi pada stainless-steel, terutama pada lingkungan yang tidak bergerak (stasioner) dan nonoksidator (tidak mengandung oksigen).

Gambar 1.4 Korosi Sumuran

c. Korosi Galvanik (Galvanic Corrosion)

Korosi galvanic terjadi karena adanya kontak antara dua jenis logam berbeda yang memiliki potensial elektrokimia atau kecenderungan korosi yang berbeda yang terdapat pada elektrolit korosif. Korosi kecenderungan suatu logam untuk mengalami korosi akibat adanya sel galvanic dipengaruhi oleh urutan logam atau paduan pada galvanic series. Ketika dua logam dengan potensial berbeda digabungkan, seperti tembaga dan besi maka akan terbentuk sel galvanic. Tembaga akan bertindak sebagai katoda karena memiliki potensial yang lebih positif dibandingkan dengan besi, sementara besi akan bertindak sebagai anoda. Besi akan lebih cepat dan lebih mudah terkorosi pada sel galvanic dibandingkan dengan dia sendiri.

Gambar 1.5 Korosi Galvanik

d. Korosi Intergranular

Korosi ini umumnya terjadi pada material austenitic stainless steel pada keadaan operasi atau threatment pada rentan suhu 425oC sampai 815oC . Rentang temperature tersebut adalah rentan bagi austenitic stainless steel mengalami fenomena sensitasi.
Sensitasi merupakan fenomena terbentuknya chromium carbide (Cr23C6) pada sekitar batas butir , Chromuim carbide terbentuk karena adanya kandungan kromium pada stainless steel secara umum yang berdifusi di sekitar pada butir dan membentuk senyawa bersama karbon. Dibawah 10% Cr, Stainless steels kehilangan ketahannanya terhadap korosi dan membuat material menjadi getas karena terbentuknya karbida

Gambar 1.6 Korosi Intergranural

e. Stress Corrosion Cracking

Stress Corrosion Cracking merupakan kegagalan getas karena adanya stress konstan yang diaplikasikan kepada sebuah material pada lingkungan yang korosif.

Gambar 1.6 Stress Corrosion Cracking

f. Hidrogen Induced Cracking

Hydrogen Induced Cracking terjadi karena adanya difusi dari atom hydrogen kedalam logam dan terperangkap pada bagian inklusi non-metalic atau pada bagian batas butir. Molekul hydrogen yang terbentuk mengakibatkan adanya tekanan tinggi pada bagian tertentu (batas butir atau inklusi non metallic) sehingga terjadi bulging dan memproduksi blister atau retak pada akhirnya

g. Korosi Celah (Crevice Corrosion)

Korosi celah ialah sel korosi yang diakibatkan oleh perbedaan konsentrasi zat asam. Karat ini terjadi, karena celah sempit terisi dengan elektrolit (air yang pHnya rendah) maka terjadilah suatu sel korosi dengan katodanya permukaan sebelah luar celah zat asam dari pada bagian sebelah dalam celah yang sedikit mengandung zat asam sehingga bersifat anodic. Korosi celah termasuk jenis korosi lokal. Jenis korosi ini terjadi pada celah-celah konstruksi, seperti kakikaki konstruksi, drum maupun tabung gas.

h. Korosi Regangan

Korosi ini terjadi karena pemberian tarikan atau kompresi yang melebihi batas ketentuannya. Kegagalan ini sering disebut retak karat regangan (RKR). Sifat retak jenis ini sangat spontan (tiba-tiba terjadinya), regangan biasanya bersifat internal atau merupakan sisa hasil pengerjaan (residual) seperti pengeringan, pengepresan dan lain-lain.

Gambar 1.9 Korosi Regangan

i. Korosi Erosi

Korosi erosi adalah proses korosi yang bersamaan dengan erosi/abrasi. Korosi jenis ini biasanya menyerang peralatan yang lingkungannya adalah fluida yang bergerak, seperti aliran dalam pipa ataupun hantaman dan gerusan ombak ke kaki-kaki jetty. Keganasan fluida korosif yang bergerak diperhebat oleh adanya dua fase atau lebih dalam fluida tersebut, misalnya adanya fase liquid dan gas secara bersamaan, adanya fase liquid, gas dan solid secara bersamaan. Kavitasi adalah contoh erosion corrosion pada peralatan yang berputar di lingkungan fluida yang bergerak, seperti impeller pompa dan sudusudu turbin. Erosion / abrassion corrosion juga terjadi di saluran gas-gas hasil pembakaran.

Gambar 1.10 Korosi Erosi

1.3 Alat dan Bahan

✓ Alat – alat percobaan

• Beaker Glass 1000 ml 2 buah

• Multiester 1 buah

✓ Bahan – bahan percobaan

• Larutan NaCl 3.5 % 500 ml

• Logam Cu 1 buah

• Logam Fe 1 buah

• Logam Zn 1 buah

1.4 Prosedur Kerja

Gambar 1.11. Flowchart prosedur

1.5 Skema Kerja

Gambar 1.12 Skema pengukuran potensial dan korosi galvanic

1.6 Referensi

  • Modul Praktikum Korosi Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia 2019
  • Pambudi, Hariman Rilo. 2016. Analisis Kasus Korosi pada Pipa Minyak Solar. Universitas Negeri Semarang
  • Utomo, Budi. 2009.Jenis Korosi dan Penanggulangan.Semarang:Universitas Diponegoro diakses https://ejournal.undip.ac.id/index.php/kapal/article/viewFile/2731/2421
  • http://www.kemplon.com/stress-corrosion-cracking-scc-a-capriciously-insidious-materialkiller/

Laporan Akhir Modul 1 : Jenis Jenis Korosi

1.7 Data Percobaan

Tabel 1.1. Potensial sel logam vs Ag/AgCl

1.8 Analisis

a. Analisis Prosedur Kerja

Pada praktikum jenis korosi ini bertujuan untuk dapat memperlihatkan adanya beda potensial antara dua logam yang berbeda, reaksi yang terdapat pada katoda dan anoda serta mengetahui proses korosi akibat sel galvanic.  Sampel yang di gunakan dalam praktikum ini adalah logam Fe, Cu dan Zn yang dimasukan dalam larutan NaCl 3 % sebanyak 300ml dengan menggunakan electrode pembanding yaitu Ag-AgCl. . Pada praktikum ini terdiri dari 2 jenis  yaitu menghitung potensial masing masing logam dan menghitung potensial sel galvanic (potensial Coupling ) pada 2 jenis logam yang berbeda.

Pada percobaan menghitung potensial logam , Langkah awal dalam percoban ini adalah memasukan larutan NaCl 3%  kedalam beaker glass sebanyak 300ml. Lalu menyusun rangkaian seperti yang tertera dalam modul praktikum. Pastikan electrode referece berada pada kutub negative (-)  dan benda yang akan di ukur potensialnya berada pada kutub positif  (+)  pada multimeter .  Kemudian praktikum diawali dengan mencari potensial dari masing-masing logam Fe, Cu dan Zn. Masing-masing logam dibandingkan menggunakan reference electrode Ag/AgCl. Setelah itu, catat hasil pengukuran pada multimeter. Hasil yang di dapat pada multimeter yaitu besarnya potensial dalam skala mV dengan satuan SSC (silver-Silver Cholide). Hasil tersebut di konversikan kedalam bentuk SHE (Standard Hydrogen Electrode) dalam penyususan laporan praktikum.

Praktikum jenis kedua yaitu dengan mengkombinasikan dua buah logam untuk mencari beda potesialnya atau biasa disebut potesial coupling. Mekanisme penyusnan aat hampir electrode sama dengan pengujian sebelumnya, akan tetapi, karena menggunakan 2 buah logam, logam yang memiliki potensial electrode lebih besar untuk di hubungkan bersama dengan electrode pembanding di kutub (-)  sedangkan logam yang memiliki potesial yang lebih rendah di hubungkan dengan kutub positif . Dari percobaan tersebut akan menghasilkan beda potensial antar kedua logam tersebut.

b. Pengukuran Potensial

Pengukuran potensial menggunakan electrode reference Ag-AgCl dengan menggunakan multimeter untukmenghitung besar potensialnya. Elektroda Ag/AgCl sering digunakan dalam aplikasi pngukuran tegangan di lingkungan laut. Nilai potensial yang didapatkan merupakan nilai potensial sel dimana E0sel = E0katoda – E0anoda.  Akibat data yang sering ditemukan dalam literatur seringkali menggunakan elektroda hydrogen (SHE) sebagai pembandingnya, maka praktikan perlu melakukan konversi terhadap data yang didapatkan agar dapat dilakukan analisis pada satuan yang sama. Konversi dari standar Ag/AgCl ke SHE dilakukan dengan menambah konstanta +0.222 V dan didapatkan data seperti pada tabel 1.1.

Gambar 1.13 Galvanic Series

Hasil pengukuran potensial masing masing logam Fe, Cu dan Zn masing masing memberikan nilai + 0.200 V, +0.210V dan +0.223 V.  dari data tersebut dapat dilihat bahwa potensial Zn > Cu > Fe. Hal tersebut tidak sesuai dengan litetratur, Seharusnya Potensial Cu > Fe > Zn  dimana logam Cu memiliki potensial sebesar +0.342 V, Fe memiliki potensial sebesar -0.447 V, dan Zn memiliki potensial sebesar -0.762 V terhadap Standard Hydrogen Electrode .

 Salah satu hal  yang mengakibatkan perbedaan ini ialah penggunaan elektroda pembanding Ag/AgCl bukan dengan setegah reaksi, melainkan dengan pelarutan dalam larutan KCl (KCl saturated), sehingga nilai untuk konversinya akan berbeda dari literatur yang menggunakan Ag/AgCl half cell reaction. Selain itu  yang menyebabkan perbedaan ialah peralatan yang digunakan, yaitu multimeter dimana pengukuran potensial sangat terlihat tidak stabil. Adapun factor lain yaitu praktikan yang mengukur potensial dari multimeter yang kuran teliti dan hati hati.

c. Sel Galvanik (Potensial Coupling)

Pada pengujian sel galvanic menggunakan eletrode reference Ag-AgCl yang dihubungkan dengan logam yang lebih positif yang berada di kutub negatif (katoda) sedangkan logam yang lebih negative dihubungkan dengan kutub positif (anoda) pada multimeter. Tujuan dari pengujian ini adaah untuk menghitung perbedaan potensial yang terjadi pada kedua logam yang dihubungkan yang dalam implemetasinya menyebabkan korosi dan menjadi dasar dari sistem proteksi anoda korban.  Pada sel galvanik, logam yang memiliki potensial lebih negatif akan berperan sebagai anoda, sementara logam dengan potensial lebih positif akan berperan sebagai katoda. Potensial dari logam pada sel ini dihitung dengan rumus E0sel = E0 katoda – E0anoda.

Pasangan logam pertama yang digunakan ialah Cu – Fe. Pada sel ini Cu berperan sebagai katoda dan Fe berperan sebagai anoda. Nilai potensial yang didapatkan pada percobaan ini ialah sebesar +0.300 V vs SHE, sementara nilai yang didapatkan dari literatur ialah sebesar +0.789 V vs SHE. Pasangan logam kedua yang diuji ialah Cu – Zn. Pada sel ini Cu berperan sebagai katoda dan Zn berperan sebagai anoda. Nilai potensial dari percobaan ini ialah sebesar +0.317 V vs SHE, sementara nilai yang didapatkan dari literatur ialah sebesar +1.14 C vs SHE. Pasangan logam ketiga ialah Fe – Zn. Pada sel ini Zn berperan sebagai anoda, sementara Fe berperan sebagai katoda. Nilai potensial dari percobaan ini ialah sebesar +0.223 V vs SHE, sementara nilai yang didapatkan dari literatur ialah sebesar +0.322 V vs SHE.

Pada praktikum ini, urutan pasangan logam tidak sesuai dengan literatur dimana   Cu-Zn > Cu-Fe> Fe-Zn . Hal tersebut disebabkan karena dari ketiga logam tersebut, logam  Cu merupakan logam dengan potesial paling besar sedangkan Zn memiliki potensial paling kecil. Sehingga perbedaan potensial nya akan besar. Akan tetapi, untuk nilai potesial logam masih berbeda dengan literatur.

Fe – Zn > Cu – Fe >  Cu – Zn . Akan tetapim mengenai keakuratan nilai potensial tentu jauh berbeda dengan  literatur. Perbedaan tersebut  dapat terjadi akibat ketidakstabilan posisi logam selama percobaan, kondisi pengujian yang berbeda dengan kondisi pengukuran literatur (literatur diukur pada kondisi Standard Room Temperature & Pressure), maupun penggunaan larutan NaCl sebagai elektrolit karena mengandung ion Cl- sebagai ion agresif yang dapat menyerang lapisan pasif pada logam Cu sehingga hasil yang didapatkan berbeda nilainya dengan literatur.Adapun penyebab lain disebabkan karena alat multimeter yang harus di kalibrasi ulang.

1.9 KESIMPULAN

  • Setiap logam memiliki potensial yang berbeda beda.
  • Terjadi kesalahan pengukuran dimana potensial Zn > Cu > Fe yang seharusnya menurut Cu > Fe > Zn . Hal tersebut disebabkan karena penggunaan electrode bukan dengan setengh reaksi, ketidakakuratan multimeter dan ketidaktelitian operator.
  • Korosi galvanik muncul apabila terdapat perbedaan potensial dari dua jenis logam. Logam dengan potensial lebih negatif akan berperan sebagai anoda, sementara logam dengan potensial lebih positif akan berperan sebagai katoda
  • Ppengukuran perbedaan potensial Cu-Zn > Cu-Fe> Fe-Zn telah sesuai dengan literatur

1.10 SARAN

  • Sebelum praktikum di mulai, hendaknya alat yang digunakan dikalibrasi atau diperbaiki terlebih dahulu agar mendapatkan data yang akurat
  • Membuat perbedaan sample antar kelompok agar mendapatkan banyak variasi hasil dan data.
  • Diberikan roundown atau penjadwalan yang tepat antar  modul agar praktikan dapat mengikuti semua praktikum (agar lebih efektif dan tidak kehabisan waktu

1.11 REFERENSI

  • Modul Praktikum Korosi Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia 2019
  • Pambudi, Hariman Rilo. 2016. Analisis Kasus Korosi pada Pipa Minyak Solar. Universitas Negeri Semarang
  • Utomo, Budi. 2009.Jenis Korosi dan Penanggulangan.Semarang:Universitas Diponegoro diakses https://ejournal.undip.ac.id/index.php/kapal/article/viewFile/2731/2421
  • Wibowo, Ari. 2016. Analisis Sifat Korosi Galvanik Berbagai Plat Logam Di Laboratorium Metalurgi Politeknik Negeri Batam. Batam : Politeknik Negeri Batam

No comments:

Post a Comment